Dewasa Memendam Rasa

Dari zaman kanak-kanakku hingga menyingkap dewasa kini. Hati kecilku  terlalu mudah menangis. Jiwaku sering saja luluh tiap kali memikirkan takdir hidup. Air mataku sering bergenang. Kelopak mataku tak mampu lagi menampung. Air mataku mengalir laju tanpa segan silu terkadang sangat pedih rasanya. Perit lagi perih dadaku tika mengenang masa silam. Memang terus gugur mutiara berkaca dari kelopak mataku tiap kali aku kesunyian. Takkan pernah ada sesiapa yang memahami derita jiwa aku selama ini. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi seorang yang penuh dengan emosi. Ibu! Mungkinkah dilemma emosi aku ini datang dari ibuku yang mengandungkan aku dalam ledakan emosi yang cukup memeritkan di saat suami tersayang tiada di sisi. Saat ditinggalkan suami tanpa khabar berita tika dari awal kandungan hinggalah aku dilahirkan. Jangka hayat aku langsung tak mengerti bagaimana rasanya kasih sayang seorang ayah. Jiwa aku sangat beremosi tiap kali melihat teman-teman lain punya ayah. Ayah! Tunjang tempat bergantung. Tapi aku..hidup tanpa tunjang. Sungguh goyah tapak yang ku pijak. Namun tetap jua aku teguhkan biarpun sering saja dalam ketakutan. Keberanian aku selama ini terbit dalam keterpaksaan. Mana bisa kanak-kanak membela diri. Tapi aku mesti lakukannya walaupun dalam terpaksa. Terpaksa atau dipaksa pada aku tiada bezanya. Kini aku telah menjadi seorang dewasa yang terlalu memendam rasa. Ya ALLAH, berikanlah aku kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang mendatang demi membahagiakan ibuku yang tercinta. Amin~